Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Ibrahim as. Ibadat haji, misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Demikian juga dengan ibadat kurban. Dalam ibadat salat, kita mengakhiri salat kita dengan membaca salawat kepada Ibrahim dan keluarganya, di samping kepada Muhammad saw dan keluarganya.
Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir; 26) Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99)
Pertanyaan fa ayna tadzhabun, “Lalu ke mana kamu pergi?” juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, “Quo Vadis?” Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.
Seperti jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.
Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29)
Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.
Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah swt berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat; 50)
Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu, Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Dalam Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga berfirman: Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?” Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?” Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.”
Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.”
Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali padanya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri -meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.
Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.
Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti “tumbuh”. Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya.
Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka.
Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah….(QS. Al-Nisa; 100).
Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita.
Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan salat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadat dengan ibadat para pedagang. Kita menjual ibadat kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.
Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari “rumah” mereka. Mereka beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah Allah kepada mereka. Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.
Al-Quran menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya -karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. Allah swt berfirman: Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165)
Tulisan ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah Ibrahim pula. Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, “Mana mungkin sang Khaliq mematikan kekasih-Nya?” Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, “Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?” Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata, “Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga.”
Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat nawafil (di samping ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya.” (HR. Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar