Guntur Estib
Kamis, 02 September 2010
Sikap Anak terhadap Orang Tua Bermasalah
Selama ini yang sering kita dengar dalam setiap pengajian/ceramah yang berisi mengenai sikap anak terhadap orangtua selalu sama, yaitu menjadikan anak sebagai subyek dengan kata lain anak yang harus menjaga sikapnya. Anak harus hormat, mematuhi dan bersikap yang baik-baik (lisan/perbuatan) kepada orangtua. Padahal dalam kenyataan yang sering terjadi dalam kehidupan nyata ini banyak sekali seorang anak kebingungan atau sulit bersikap terhadap orangtuanya, terutama bagi mereka yang yang orangtuanya bermasalah. Tanya Jawab (432) :Sikap Anak terhadap Orang Tua Bermasalah Assalaamu'alaikum Wr. Wb. Selama ini yang sering kita dengar dalam setiap pengajian/ceramah yang berisi mengenai sikap anak terhadap orangtua selalu sama, yaitu menjadikan anak sebagai subyek dengan kata lain anak yang harus menjaga sikapnya. Anak harus hormat, mematuhi dan bersikap yang baik-baik (lisan/perbuatan) kepada orangtua. Padahal dalam kenyataan yang sering terjadi dalam kehidupan nyata ini banyak sekali seorang anak kebingungan atau sulit bersikap terhadap orangtuanya, terutama bagi mereka yang yang orangtuanya bermasalah. Bagaimana sikap anak terhadap ayah yang memukuli ibunya? sementara ayah sudah tidak dapat dikendalikan/dinasehati !!! Apakah sang anak harus diam melihat hal tersebut karena jika melawan akan dikatakan durhaka sementara ibu tersiksa lahir dan batinnya. Hal tersebut diatas sering kita lihat dan dengar disekililing kita, bahkan ada seorang anak kelepasan tangan memukul ayahnya untuk membela ibunya yang dianiaya ayahnya.Jika kita lihat hadist Rasul bahwa ibu 3x lebih harus kita hormati dari ayah apakah dibenarkan anak melawan ayahnya untuk membela ibunya yang teraniaya ? Demikian, terimakasih atas perhatian dan jawabannya. Jazakumullohu Khoiron. Wassalaamu'alaikum wr. wb. Uhktikum Fillah --------- Jawab --------- Saya sepakat dengan Anda, kebanyakan orang tua (ortu) ternyata otoriter. Menurutnya, segala perkataannya harus diikuti anaknya. Padahal ortu yang baik itu di samping sbg pelindung dan pembimbing, mestinya juga harus menjadi teman yang baik (yang bisa diajak diskusi dlm membicarakan cita-cita, misal) bagi anaknya. Juga perlu dibedakan antara nasehat dan saran/usulan. Nasehat itu meliputi nilai-nilai yang prinsipil (sesuai logika), dan moralitas atau norma-norma agama, seperti kedisiplinan, kejujuran, tanggung-jawab, keseriusan, harga-menghargai, hormat-menghormati, dll. Dan saran/usulan berkaitan dengan cita-cita, bidang studi yang hendak di tekuni, dll. Jadi, seorang anak dikatakan membantah nasehat ortu jika ia tidak menaati nilai-nilai moralitas yang disampaikan ortunya. Adapun soal pilihan cita-cita, pilihan jodoh, dll yang berkaitan dengan masa depan si anak ortu tidak boleh memaksakan kehendaknya. Bila si anak sudah mantap pada suatu pilihan (yang tidak ada jeleknya sedikitpun menurut norma apapun), dan konsekuen atas pilihan tersebut (berani bertanggungjawab), ortu tinggal memberikan usulan-usulan dan bimbingan yang mendukung pilihan si anak. Dalam hal ini ortu juga tidak bisa memaksakan usulan-usulannya. Bila si anak mempunyai pendapat yang lebih mantap dan yakin bisa mempertanggungjawabkannya, ortu tidak boleh mengendorkannya. Diskusi soal pilihan ini tergantung pada kekuatan argumen-argumen yang rasional, dan yang jelas tidak boleh menyalahi norma-norma agama. Demikian soal pendidikan anak. Format interaksi ortu-anak seperti di atas bila keduanya tetap pada rel-rel agama dan logika. Jika salah satunya menyalahi agama, maka pertanda olengnya bahtera rumah tangga. Terlebih jika yang melakukan kesalahan adalah ortu, seperti kisah Anda tersebut. Pertanyaan berikutnya, seperti yang Anda tanyakan, bagaimana sikap si anak? Dilihat-lihat, bila si anak sudah menjadi dewasa dan merasa mampu --secara fisik dan mental-- mengatasi ortu-nya sendirian tanpa melibatkan orang luar, maka lebih baik diatasi sendiri. Tapi jika tidak mampu, segeralah minta tolong orang lain. Bahkan kalau urusannya sudah gawat sekali, sudah masuk kategori pidana misal, lebih baik lapor ke pihak yang berwajib (polisi). Yang jelas, harus segera diupayakan agar jangan terjadi korban. Pada kasus yang Anda ceritakan, tentu si anak sebisanya menyelamatkan ibunya, namaun jangan ikut-ikutan kehilangan kesabaran dengan membalas dendam, apalagi sampai membunuh bapaknya. Demikian, semoga bermanfaat Arif Hidayat
Thoriqoh (Jalan Menuju Allah SWT)
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah, Tarekat Rifa'iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.
Kedudukan Tarekat dalam Empat Tingkatan Spiritual
Bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, tingkatan yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.
TAREKAT BADAWIYAH
Nama resminya ialah Ahmad ibn ‘Aly (al-Husainy al-Badawy). Di antara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin (bintang agama), al-Aqthab, Abu al-Fityah (bapa para kesateria), Syaikh al-‘Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama.
Keturunan serta Tarikh dan Tempat Kelahiran
Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir,Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam, melalui Saiyidina al-Husain.
Menurut as-Saiyid Muhammad Murtadla az-Zabidy (meninggal dunia pada tahun 1205 Hijrah), silsilah keturunan yang lengkap bagi asy-Syaikh Ahmad al-Badawy ialah Ahmad ibn ‘Aly ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ismail ibn ‘Umar ibn ‘Aly ibn ‘Uthaman ibn al-Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Asyhab ibn Yahya ibn ‘Îsa ibn ‘Aly ibn Muhammad ibn Hasan ibn Ja‘far ibn ‘Aly al-HÁdy ibn Muhammad al-Jawad ibn ‘Aly ar-Ridlo ibn Musa al-Kadzim ibn Ja‘far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Zain al-‘Àbidin ‘Aly ibn al-Husain ibn ‘Aly ibn Abi ThaAlib.
Ibu kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Fathaiimah bint Muhammad ibn Ahmad ibn ‘AbdullÁh ibn Musa ibn Syu‘aib juga adalah seorang keturunan RaslullÁh Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan nenek (yakni ibu kepada ibu) kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Asma’ bint ‘Uthaman pula, adalah anak saudara kepada seorang raja yang pernah memerintah negara Moroko.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dilahirkan pada tahun 596 Hijrah di Fez (yang dieja juga sebagai Fés, dan disebut Fas di dalam Bahasa Arab), yang menjadi ibu negara Moroko pada waktu itu. Dia telah meninggal dunia pada hari Selasa, 12 haribulan Rabiulawal tahun 675 Hijrah, ketika berumur 79 tahun, di kota Thantha, yang terletak di utara negara Mesir, dan berada lebih kurang 90 kilometer dari kota al-Qahirah. (Pada masa dahulu, THantha pernah dikenali sebagai Thananditha).
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat luas kemasyhurannya dan telah diberikan penghormatan yang istimewa. Karena itu, kuburnya sentiasa dikunjungi para pelawat pada setiap hari. Mereka ini datang dari jauh dan dekat, dengan berbagai-bagai niat dan hajat. Dan Allah Ta‘ala selalu memakbulkan doa-doa mereka di situ, karena memuliakan waliNya ini.
Orang-orang Mesir telah mengkhususkan tiga upacara tahunan untuk memperingati asy-Syaikh Ahmad al-Badawy. Sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di Thantha ini dihadiri oleh ramai manusia, sehingga kadangkala jumlah mereka mencecah angka tiga juta orang. Dan yang turut menghadiri sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy, bukan saja mereka dari kalangan para pengamal ath-Thariqah al-Ahmadiyyah al-Badawiyyah, tetapi juga dari kalangan para pengamal tarekat-tarekat lain, dan termasuklah juga beberapa orang pembesar negara Mesir. Malah, presiden negara Mesir sendiri telah menghantar seorang menteri sebagai wakil peribadinya ke majlis-majlis maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy.
Kota Thantha adalah sebuah kota yang agak sederhana geografisnya. (Universiti al-Azhar juga mempunyai cabang di kota Thantha, di mana terdapat juga beberapa orang penuntut dari Malaysia.) Tetapi, ketika sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy sedang diadakan, jumlah penduduk kota Thantha akan menjadi berlipat ganda. Ia menjadi seakan-akan kota Makkah al-Mukarramah pada waktu musim haji. Ini adalah sebagai satu tanda yang asy-Syaikh Ahmad al-Badawy masih popular di kalangan rakyat jelata, walaupun sudah lebih dari tujuh ratus tahun dia meninggal dunia.
Silsilah Tarekat dan Peninggalannya
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat terkenal di negara Mesir. Dia juga adalah pengasas ath-Thariqah al-Ahmadiyyah, yang dikenali juga sebagai ath-Thariqah al-Badawiyyah. Dan ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pula, telah berpecah kepada beberapa cabang dan ranting lain, seperti ath-Thariqah al-Anbabiyyah ath-Thariqah al-Bandariyyah, ath-Thariqah al-BaiyÍmiyyah, ath-Thariqah al-Halabiyyah, a ath-Thariqah al-Hammidiyyah, ath-Thariqah al-Kannasiyyah, ath-Thariqah as-Salamiyyah, ath-Thariqah asy-Syinnawiyyah, ath-Thariqah as-Suthhiyyah, ath-Thariqah az-Zahidiyyah.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah menerima ijazah tarekat dari asy-Syaikh al-Birry, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Abi Nu‘aim al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-‘Abbas Ahmad ibn Abi al-Hasan ‘Aly ar-Rifa’y, yang telah menerima dari asy-Syaikh ManSÍr al-Batha’ihy ar-Rabbany, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly al-Qari’ al-Wasithy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Fadhl ibn Kamikh, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi ‘Aly Ghulam ibn Tarakan, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly ibn Barbary (yang disebut juga sebagai Ibn al-Baranbary), yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly al-‘Ajamy (yang dikenali juga sebagai asy-Syaikh Mahally al-‘Ajamy), yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Bakr Dulaf ibn Jahdar asy-Syibly, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Hasan Sary ibn al-Mughalis as-Saqathy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Ma‘ruf ibn Fairuz al-Karkhy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Sulaiman Dawud ibn Nasirr ath-Tha’y, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Muhammad Habi ibn ‘Îsa al-‘Ajamy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Sa‘id al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Bashry, yang telah menerima dari al-Imam al-Hasan ibn ‘Aly, yang telah menerima dari bapanya yakni al-Imam ‘Aly ibn AbÍ Thalib, yang telah menerima dari sepupunya yang juga adalah bapa mertuanya yakni junjungan kita Saiyidina Muhammad Raslullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy tidak pernah mengarang sebarang kitab. Cuma yang ada ialah sebuah kitab yang telah ditulis oleh seorang muridnya, mengikut pengimlakan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy. Kitab ini tersimpan di dalam masjid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di kota Thantha.
Di antara amalan-amalan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang masih popular dan diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia ialah selawat an-Nur dan selawat al-Qabdlah (dikenali juga sebagai selawat ar-Ra’ysiyyah). Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga meninggalkan beberapa Hizb ringkas yang diamalkan oleh para pengikut ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pada waktu Subuh dan pada waktu Isyak.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diumpamakan oleh ahli-ahli sufi sebagai satu permata cemerlang dari perbendaharaan Ahlul-Bait. Seperti keadaan beberapa orang wali Allah lain yang telah diberikan tugas untuk mendidik, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga telah bertugas sebagai seorang guru dan pendakwah. Namun, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dipilih untuk mendidik kumpulan para petani di daerah pendalaman, sebagaimana ada wali-wali Allah lain yang telah dipilih untuk mendidik para saudagar dan para cerdik pandai di kota-kota besar.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah, Tarekat Rifa'iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.
Kedudukan Tarekat dalam Empat Tingkatan Spiritual
Bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, tingkatan yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.
TAREKAT BADAWIYAH
Nama resminya ialah Ahmad ibn ‘Aly (al-Husainy al-Badawy). Di antara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin (bintang agama), al-Aqthab, Abu al-Fityah (bapa para kesateria), Syaikh al-‘Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama.
Keturunan serta Tarikh dan Tempat Kelahiran
Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir,Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam, melalui Saiyidina al-Husain.
Menurut as-Saiyid Muhammad Murtadla az-Zabidy (meninggal dunia pada tahun 1205 Hijrah), silsilah keturunan yang lengkap bagi asy-Syaikh Ahmad al-Badawy ialah Ahmad ibn ‘Aly ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ismail ibn ‘Umar ibn ‘Aly ibn ‘Uthaman ibn al-Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Asyhab ibn Yahya ibn ‘Îsa ibn ‘Aly ibn Muhammad ibn Hasan ibn Ja‘far ibn ‘Aly al-HÁdy ibn Muhammad al-Jawad ibn ‘Aly ar-Ridlo ibn Musa al-Kadzim ibn Ja‘far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Zain al-‘Àbidin ‘Aly ibn al-Husain ibn ‘Aly ibn Abi ThaAlib.
Ibu kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Fathaiimah bint Muhammad ibn Ahmad ibn ‘AbdullÁh ibn Musa ibn Syu‘aib juga adalah seorang keturunan RaslullÁh Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan nenek (yakni ibu kepada ibu) kepada asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang bernama Asma’ bint ‘Uthaman pula, adalah anak saudara kepada seorang raja yang pernah memerintah negara Moroko.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dilahirkan pada tahun 596 Hijrah di Fez (yang dieja juga sebagai Fés, dan disebut Fas di dalam Bahasa Arab), yang menjadi ibu negara Moroko pada waktu itu. Dia telah meninggal dunia pada hari Selasa, 12 haribulan Rabiulawal tahun 675 Hijrah, ketika berumur 79 tahun, di kota Thantha, yang terletak di utara negara Mesir, dan berada lebih kurang 90 kilometer dari kota al-Qahirah. (Pada masa dahulu, THantha pernah dikenali sebagai Thananditha).
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat luas kemasyhurannya dan telah diberikan penghormatan yang istimewa. Karena itu, kuburnya sentiasa dikunjungi para pelawat pada setiap hari. Mereka ini datang dari jauh dan dekat, dengan berbagai-bagai niat dan hajat. Dan Allah Ta‘ala selalu memakbulkan doa-doa mereka di situ, karena memuliakan waliNya ini.
Orang-orang Mesir telah mengkhususkan tiga upacara tahunan untuk memperingati asy-Syaikh Ahmad al-Badawy. Sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di Thantha ini dihadiri oleh ramai manusia, sehingga kadangkala jumlah mereka mencecah angka tiga juta orang. Dan yang turut menghadiri sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy, bukan saja mereka dari kalangan para pengamal ath-Thariqah al-Ahmadiyyah al-Badawiyyah, tetapi juga dari kalangan para pengamal tarekat-tarekat lain, dan termasuklah juga beberapa orang pembesar negara Mesir. Malah, presiden negara Mesir sendiri telah menghantar seorang menteri sebagai wakil peribadinya ke majlis-majlis maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy.
Kota Thantha adalah sebuah kota yang agak sederhana geografisnya. (Universiti al-Azhar juga mempunyai cabang di kota Thantha, di mana terdapat juga beberapa orang penuntut dari Malaysia.) Tetapi, ketika sambutan maulid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy sedang diadakan, jumlah penduduk kota Thantha akan menjadi berlipat ganda. Ia menjadi seakan-akan kota Makkah al-Mukarramah pada waktu musim haji. Ini adalah sebagai satu tanda yang asy-Syaikh Ahmad al-Badawy masih popular di kalangan rakyat jelata, walaupun sudah lebih dari tujuh ratus tahun dia meninggal dunia.
Silsilah Tarekat dan Peninggalannya
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang wali Allah yang sangat terkenal di negara Mesir. Dia juga adalah pengasas ath-Thariqah al-Ahmadiyyah, yang dikenali juga sebagai ath-Thariqah al-Badawiyyah. Dan ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pula, telah berpecah kepada beberapa cabang dan ranting lain, seperti ath-Thariqah al-Anbabiyyah ath-Thariqah al-Bandariyyah, ath-Thariqah al-BaiyÍmiyyah, ath-Thariqah al-Halabiyyah, a ath-Thariqah al-Hammidiyyah, ath-Thariqah al-Kannasiyyah, ath-Thariqah as-Salamiyyah, ath-Thariqah asy-Syinnawiyyah, ath-Thariqah as-Suthhiyyah, ath-Thariqah az-Zahidiyyah.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah menerima ijazah tarekat dari asy-Syaikh al-Birry, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Abi Nu‘aim al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-‘Abbas Ahmad ibn Abi al-Hasan ‘Aly ar-Rifa’y, yang telah menerima dari asy-Syaikh ManSÍr al-Batha’ihy ar-Rabbany, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly al-Qari’ al-Wasithy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Fadhl ibn Kamikh, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi ‘Aly Ghulam ibn Tarakan, yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly ibn Barbary (yang disebut juga sebagai Ibn al-Baranbary), yang telah menerima dari asy-Syaikh ‘Aly al-‘Ajamy (yang dikenali juga sebagai asy-Syaikh Mahally al-‘Ajamy), yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Bakr Dulaf ibn Jahdar asy-Syibly, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdady, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi al-Hasan Sary ibn al-Mughalis as-Saqathy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Ma‘ruf ibn Fairuz al-Karkhy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Sulaiman Dawud ibn Nasirr ath-Tha’y, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Muhammad Habi ibn ‘Îsa al-‘Ajamy, yang telah menerima dari asy-Syaikh Abi Sa‘id al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar al-Bashry, yang telah menerima dari al-Imam al-Hasan ibn ‘Aly, yang telah menerima dari bapanya yakni al-Imam ‘Aly ibn AbÍ Thalib, yang telah menerima dari sepupunya yang juga adalah bapa mertuanya yakni junjungan kita Saiyidina Muhammad Raslullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy tidak pernah mengarang sebarang kitab. Cuma yang ada ialah sebuah kitab yang telah ditulis oleh seorang muridnya, mengikut pengimlakan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy. Kitab ini tersimpan di dalam masjid asy-Syaikh Ahmad al-Badawy di kota Thantha.
Di antara amalan-amalan asy-Syaikh Ahmad al-Badawy yang masih popular dan diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia ialah selawat an-Nur dan selawat al-Qabdlah (dikenali juga sebagai selawat ar-Ra’ysiyyah). Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga meninggalkan beberapa Hizb ringkas yang diamalkan oleh para pengikut ath-Thariqah al-Ahmadiyyah pada waktu Subuh dan pada waktu Isyak.
Asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diumpamakan oleh ahli-ahli sufi sebagai satu permata cemerlang dari perbendaharaan Ahlul-Bait. Seperti keadaan beberapa orang wali Allah lain yang telah diberikan tugas untuk mendidik, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy juga telah bertugas sebagai seorang guru dan pendakwah. Namun, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah dipilih untuk mendidik kumpulan para petani di daerah pendalaman, sebagaimana ada wali-wali Allah lain yang telah dipilih untuk mendidik para saudagar dan para cerdik pandai di kota-kota besar.
http://klipping.wordpress.com/2009/02/05/berlarilah-menuju-allah/
Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Ibrahim as. Ibadat haji, misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Demikian juga dengan ibadat kurban. Dalam ibadat salat, kita mengakhiri salat kita dengan membaca salawat kepada Ibrahim dan keluarganya, di samping kepada Muhammad saw dan keluarganya.
Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir; 26) Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99)
Pertanyaan fa ayna tadzhabun, “Lalu ke mana kamu pergi?” juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, “Quo Vadis?” Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.
Seperti jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.
Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29)
Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.
Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah swt berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat; 50)
Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu, Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Dalam Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga berfirman: Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?” Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?” Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.”
Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.”
Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali padanya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri -meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.
Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.
Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti “tumbuh”. Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya.
Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka.
Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah….(QS. Al-Nisa; 100).
Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita.
Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan salat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadat dengan ibadat para pedagang. Kita menjual ibadat kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.
Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari “rumah” mereka. Mereka beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah Allah kepada mereka. Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.
Al-Quran menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya -karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. Allah swt berfirman: Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165)
Tulisan ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah Ibrahim pula. Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, “Mana mungkin sang Khaliq mematikan kekasih-Nya?” Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, “Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?” Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata, “Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga.”
Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat nawafil (di samping ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya.” (HR. Bukhari)
Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir; 26) Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99)
Pertanyaan fa ayna tadzhabun, “Lalu ke mana kamu pergi?” juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, “Quo Vadis?” Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.
Seperti jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.
Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29)
Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.
Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah swt berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat; 50)
Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu, Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Dalam Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga berfirman: Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?” Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?” Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.”
Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.”
Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali padanya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri -meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.
Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.
Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti “tumbuh”. Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya.
Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka.
Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah….(QS. Al-Nisa; 100).
Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita.
Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan salat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadat dengan ibadat para pedagang. Kita menjual ibadat kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.
Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari “rumah” mereka. Mereka beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah Allah kepada mereka. Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.
Al-Quran menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya -karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. Allah swt berfirman: Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165)
Tulisan ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah Ibrahim pula. Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, “Mana mungkin sang Khaliq mematikan kekasih-Nya?” Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, “Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?” Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata, “Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga.”
Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat nawafil (di samping ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya.” (HR. Bukhari)
Politik Islam dan Politik Jahiliyyah
Dalam buku Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menulis: ”Jadi politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam) dan politik non syar’i (politik non Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya sebagai pengganti bagi syari’at Islam dan bisa saja bertentangan dengan Islam. Politik seperti ini menolak politik syar’i karena merupakan politik yang tidak memiliki agama. Sedangkan politik yang tidak memiliki agama adalah politik jahiliyah.”
Semenjak tahun 1924 ummat Islam tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Bahkan di berbagai penjuru dunia Islam dideklarasikan berdirinya negara-negara dengan konsep nation-state (negara-kebangsaan). Mulailah kaum muslimin mengekor kepada negara-negara kafir yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan keanekaragaman suku dan bangsa. Sebelumnya ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak ummat Islam hanya memahami manusia berdasarkan pembagian yang Allah gambarkan di dalam Al-Qur’an, yaitu manusia beriman (Al-Mu’minun) dan manusia kafir (Al-Kafirun).
Ketika Khilafah masih tegak ummat Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dengan berbagai urusan kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pemisahan antara kehidupan beragama dalam tataran kehidupan individual maupun sosial. Namun semenjak faham negara-aqidah dihapuskan lalu diganti dengan ideologi nasionalisme mulailah kaum muslimin mengalami pergeseran tolok ukur. Aqidah Islam yang sebelumnya dijadikan sebagai perekat utama masyarakat dilokalisir menjadi sebatas keyakinan individual muslim. Sedangkan masyarakat diarahkan untuk menjadikan etnisitas kebangsaan sebagai perekat kehidupan sosial. Seolah agama hanya berlaku dalam tataran pribadi, sedangkan dalam tataran sosial agama harus dikesampingkan. Kemudian muncullah ajaran primordial kebangsaan yang menggantikan agama sebagai identitas dan perekat sosial.
Dalam buku Petunjuk Jalan bab Tumbuhnya Masyarakat Islam dan Ciri Khasnya, Sayyid Qutb menulis: ”Sesungguhnya dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah dan seruan ke jalan Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para Rasul dan utusan-utusan Allah yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia mempunyai sasaran dan tujuan yang satu. Yaitu, membimbing manusia untuk mengenal Ilah mereka yang Maha Esa dan Yang Maha Benar, agar mereka menyembah dan mengabdi hanya kepada Ilah Yang Maha Esa dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.
Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan wujudnya Tuhan; tetapi mereka salah pilih dalam hal mengenal hakikat Tuhan yang benar. Mereka menyekutukan Tuhan yang benar dengan tuhan-tuhan yang lain. Bisa dalam bentuk ibadat dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan dan kekuasaan.
Dua bentuk itu adalah SYIRIK yang bisa menyebabkan manusia keluar dari agama Allah. Padahal para Rasul sudah mengenalkan Allah swt. kepada mereka. Tapi, mereka mengingkariNya setelah berlalu beberapa masa dan generasi. Mereka pun kembali ke alam jahiliyah, kemudian kembali mensyirikkan Allah, baik dalam bentuk akidah dan ibadat, atau dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan, atau pun di dalam dua bentuk itu sekaligus.
Inilah dia tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan dan sasaran yang satu yaitu “ISLAM (MENYERAH)” di dalam pengertian penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam, menarik umat manusia keluar dari mengabdikan diri kepada sesama hamba Allah, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah SWT, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama hamba Allah di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan peraturan Allah saja di dalam semua urusan hidup.”
Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagaimana ia datang melalui para Rasul sebelum beliau. Ia datang untuk membawa umat manusia patuh kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah seperti seluruh alam ini berjalan mengikuti landasan peraturan Allah.”
Sebuah masyarakat Islam berbeda samasekali dari masyarakat Jahiliyyah. Masyarakat Islam berdiri di atas fondasi aqidah La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Penghambaan kepada Allah bukan tercermin dalam urusan ibadah ritual-formal belaka. Tetapi ia juga tercermin dalam aspek nilai-nilai moral serta hukum-hukum pribadi maupun sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Semenjak tahun 1924 ummat Islam tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Bahkan di berbagai penjuru dunia Islam dideklarasikan berdirinya negara-negara dengan konsep nation-state (negara-kebangsaan). Mulailah kaum muslimin mengekor kepada negara-negara kafir yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan keanekaragaman suku dan bangsa. Sebelumnya ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak ummat Islam hanya memahami manusia berdasarkan pembagian yang Allah gambarkan di dalam Al-Qur’an, yaitu manusia beriman (Al-Mu’minun) dan manusia kafir (Al-Kafirun).
Ketika Khilafah masih tegak ummat Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dengan berbagai urusan kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pemisahan antara kehidupan beragama dalam tataran kehidupan individual maupun sosial. Namun semenjak faham negara-aqidah dihapuskan lalu diganti dengan ideologi nasionalisme mulailah kaum muslimin mengalami pergeseran tolok ukur. Aqidah Islam yang sebelumnya dijadikan sebagai perekat utama masyarakat dilokalisir menjadi sebatas keyakinan individual muslim. Sedangkan masyarakat diarahkan untuk menjadikan etnisitas kebangsaan sebagai perekat kehidupan sosial. Seolah agama hanya berlaku dalam tataran pribadi, sedangkan dalam tataran sosial agama harus dikesampingkan. Kemudian muncullah ajaran primordial kebangsaan yang menggantikan agama sebagai identitas dan perekat sosial.
Dalam buku Petunjuk Jalan bab Tumbuhnya Masyarakat Islam dan Ciri Khasnya, Sayyid Qutb menulis: ”Sesungguhnya dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah dan seruan ke jalan Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para Rasul dan utusan-utusan Allah yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia mempunyai sasaran dan tujuan yang satu. Yaitu, membimbing manusia untuk mengenal Ilah mereka yang Maha Esa dan Yang Maha Benar, agar mereka menyembah dan mengabdi hanya kepada Ilah Yang Maha Esa dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.
Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan wujudnya Tuhan; tetapi mereka salah pilih dalam hal mengenal hakikat Tuhan yang benar. Mereka menyekutukan Tuhan yang benar dengan tuhan-tuhan yang lain. Bisa dalam bentuk ibadat dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan dan kekuasaan.
Dua bentuk itu adalah SYIRIK yang bisa menyebabkan manusia keluar dari agama Allah. Padahal para Rasul sudah mengenalkan Allah swt. kepada mereka. Tapi, mereka mengingkariNya setelah berlalu beberapa masa dan generasi. Mereka pun kembali ke alam jahiliyah, kemudian kembali mensyirikkan Allah, baik dalam bentuk akidah dan ibadat, atau dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan, atau pun di dalam dua bentuk itu sekaligus.
Inilah dia tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan dan sasaran yang satu yaitu “ISLAM (MENYERAH)” di dalam pengertian penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam, menarik umat manusia keluar dari mengabdikan diri kepada sesama hamba Allah, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah SWT, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama hamba Allah di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan peraturan Allah saja di dalam semua urusan hidup.”
Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagaimana ia datang melalui para Rasul sebelum beliau. Ia datang untuk membawa umat manusia patuh kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah seperti seluruh alam ini berjalan mengikuti landasan peraturan Allah.”
Sebuah masyarakat Islam berbeda samasekali dari masyarakat Jahiliyyah. Masyarakat Islam berdiri di atas fondasi aqidah La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Penghambaan kepada Allah bukan tercermin dalam urusan ibadah ritual-formal belaka. Tetapi ia juga tercermin dalam aspek nilai-nilai moral serta hukum-hukum pribadi maupun sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Jumat, 27 Agustus 2010
cinta
Cinta engkau da dimana aqu sangat merindukanmu diriku seperti tak da gunanya tanpa dikau sayang kembalilah padaku aku slalu menantimu sekian hary aqu menunggumu tapi pa dayanya aqu ni
cinta
CiNtA TaK BuTuH HaRtA… KaSiH TaK BuTuH TaHtA… TeTaPi… CiNtA Dan KaSiH HaNyA BuTuH KeSaBaRaN… DaN… KeIkHlAsAn…ok???? by:sony
Langganan:
Postingan (Atom)